Mario Dandy Satrio Aniaya David, Ini Faktor Anak Tumbuh dengan Sifat Kekerasan

Kasus penganiayaan anak pejabat pajak Mario Dandy Satrio, terhadap putra petinggi GP Ansor Jonathan Latumahina, David, menjadi sorotan di masyarakat.

Banyak netizen yang tidak menyangka Mario Dandy Satrio memukuli David hingga David sempat mengalami koma.

Karena kasus ini, Mario Dandy Satrio harus berhadapan dengan hukum.

Ia pun dikeluarkan dari kampusnya, Prasetiya Mulya.

Ada beberapa faktor yang dapat mendorong anak tumbuh dengan sifat kekerasan.

Psikolog anak dari Universitas Indonesia Rose Mini Agoes Salim, mengatakan orang tua yang melakukan kekerasan pada abisa jadi faktor anak tubuh dengan sifat kekerasan.

Kekerasan yang dialami anak bisa saja membuat anak mencari tempat lain untuk mempraktikkan apa yang pernah diobservasi atau dilihat selama berada dalam lingkungan keluarga tersebut.

Unjuk Rasa di Serbia Menuntut Presiden Aleksandar Vucic Mundur “Dan selain kekerasan dari keluarga atau kekerasan yang dilakukan orang tua kepada anak, ada juga hal-hal lain yang bisa membuatnya tumbuh menjadi anak yang menyelesaikan masalahnya dengan kekerasan,” kata Romi.

Ketika anak merasa kehadiran dirinya tidak dianggap, baik di rumah ataupun di lingkungan, maka bisa saja anak mencari tempat lain di mana dia dapat menunjukkan kekuasaan, dominasi, atau kekerasan.

Faktor anak tumbuh dengan sifat kekerasan lain juga bisa dipengaruhi oleh pergaulan.

Anak yang mulanya tidak melakukan kekerasan, tiba-tiba bisa melakukan kekerasan sebab mungkin saja dia menirukan apapun yang dilakukan oleh teman sebayanya (peers).

“Jadi banyak sekali penyebabnya, tetapi makanya kita harus mulai jangan sampai orang tua memulai untuk kemudian melakukan kekerasan pada anak di rumah,” ujar Romi.

Kalkulasi Tagihan Restitusi yang Menanti Mario Dandy usai Aniaya David Ozora Ketika anak sudah sering melakukan kekerasan, perlu dilihat lebih jauh apakah anak memang merasa tidak nyaman di tempat yang lain sehingga dia memerlukan kelompok teman-temannya yang melakukan kekerasan tersebut.

Apabila anak ingin menunjukkan eksistensi dengan melakukan kekerasan kepada orang, maka hal ini juga harus dilihat kembali apakah konsep diri yang dimiliki anak cukup baik.

Sebagai contoh, anak merasa tidak berprestasi di sekolah dan merasa dirinya tidak diterima di sekolah sehingga membutuhkan tempat lain untuk menunjukkan eksistensi.

“Kalau dia tidak berprestasi di sekolah, sebetulnya dia bisa saja berprestasi misalnya di olahraga, di seni, dan sebagainya.

Tapi hal itu tidak dia lihat dan orang-orang di sekitarnya, terutama orang tuanya, tidak menunjukkan kelebihan anak itu sehingga apa yang dia dapat gambaran tentang dirinya mungkin sesuatu yang negatif-negatif terus,” katanya.

Apabila hal itu terjadi terus-menerus, maka self-esteem atau rasa harga diri anak cenderung menjadi negatif hingga tidak percaya diri.

Sebaliknya, anak justru menjadi percaya diri jika bisa menunjukkan kemampuannya untuk mendominasi orang lain.

“Untuk mengatasi ini, maka kita harus bantu dari menunjukkan kepada dia bahwa anak ini punya potensi lain selain dia jadi orang yang suka berantem dan sebagainya,” Romi menjelaskan.

Pilihan Editor: Mario Dandy Satrio Pamer Barang Mewah, Ini Alasan Orang Flexing Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *